A. THALAQ
Thalaq ialah melepaskan ikatan Nikah dari pihak suami dengan mengucapkan ucapan Thalaq.
Contohnya suami berkata pada Isterinya “Aku Thalaqkan Engkau“. Setelah ucapan itu terucap, maka ikatan Nikah suami dengan isterinya tersebut jadi bercerai.
Rasulullah Saw besabda “ Dari Ibnu Umar ra ia berkata : Rasulullah Saw telah bersabda : Diantara Hal-hal yang Halal namun dibenci oleh Allah ialah Thalaq “. ( H. R. Abu Daud, Ibunu Majah dan disahkan oleh Hakim dan Abu Hatim menguatkan mursalnya ).
Dalam pasal 117 KHI di jelaskan Bahwa : Talak adalah Ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaiman dimaksud dalam pasal 129,130 dan 131.
B. RUKUN TALAQ
1. Suami yang menthalaq ; dengan syarat Baligh, berakal dan kehendak sendiri.
2. Isteri yang dithalaqkan.
3. Ucapan yang dipergunakan untuk menthalaq.
C. UCAPAN TALAQ
1. Ucapan sharih yaitu ucapan yang tegas dengan maksud menthalaq. Thalaq itu jatuh jika seseorang telah mengucapkannya dengan sengaja walaupun hatinya tidak berniat menthalaq isterinya.
Ucapan Thalaq yang sharih ada tiga, yaitu :
a. Thalaq artinya mencerai .
b. Pirak ( Firaq ), artinya memisahkan diri.
c. Sarah artinya lepas.
2. Ucapan yang kinayah yaitu ucapan yang tidak jelas maksudnya, mungkin ucapan itu maksudnya thalaq lain.
Ucapan thalaq kinayah memerlukan adanya niat, artinya jika ucapan thalaq itu dengan niat, sah thalaqnya dan jika tidak disertai niat, maka thalaqnya belum jatuh.
Ucapan kinayah antara lain :
a. Pulanglah engkau kepada Ibu Bapakmu.
b. Kawinlah engkau dengan orang lain.
c. Saya sudah tidak hajat lagi kepadamu.
Rasulullah Saw bersabda : Dari Abi Hurairah ra, ia berkata “ Rasulullah Saw bersabda : Ada tiga perkara, yang bila disungguhkan jadi dan main - main pun tetap jadi, yaitu Nikah, Thalaq dan Rujuk. ( H. R. Imam yang Empat, kecuali Nasa’ dan dishahkan oleh Hakim ).
Menta’liqkan Thalaq ialah menggantungkan thalaq dengan sesuatu.
Contoh suami berkata “ Engkau terthalaq apabila engkau pergi dari rumah ini tanpa izin saya” atau ucapan lain yang semacam itu.
Jika si Isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami maka jatuhlah thalaqnya.
Seorang yang merdeka berhak menthalaq isterinya dari satu sampai tiga kali.
Thalaq satu atau dua boleh rujuk (kembali) sebelum habis ‘Iddahnya dan boleh kawin kembali sesudah ‘iddah (Aqad Nikah yang baru).
Firman Allah Swt dalam Al Qur’an pada surah Al Baqarah ayat 229:
اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْـًٔا اِلَّآ اَنْ يَّخَافَآ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَا ۚوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (144). Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
1. Menthalaq isterinya tiga kali dalam waktu yang berlainan.
Suami menthalaq isteri dengan thalaq satu, kemudian setelah ‘Iddah dinikahi kembali dengan nikah baru, kemudian dithalaq, setelah habis ‘iddahnya dinikahi kembali, lalu dithalaq lagi yang ketiga kalinya. Dengan demikian berarti telah terjadi thalaq tiga.
2. Ucapan thalaq dari suami yang dijatuhkan tiga sekaligus dengan ucapan : “Saya thalaq engkau thalaq tiga“.
Ucapan yang demikian ini mengakibatkan jatuhnya thalaq tiga.
Dalam sebuah riwayat diterangkan yang Artinya “ Dari Abi Ash-shahba ra, Bahwasanya ia bertanya kepada Ibnu ‘Abbas : Apakah engkau tahu, bahwasanya thalaq tiga (yang diucapkan sekaligus tiga) itu dihukumkan menjadi thalaq satu pada zaman Rasulullah Saw, dan Abu Bakar ra. Namun ditetapkan hukumnya menjadi thalaq tiga pada zaman Khalifah ‘Umar Bin Khattab ra ?. Lalu Ibnu ‘Abbas menjawab : Ya .
1. Thalaq Raj’i adalah thalaq yang boleh dirujuki suami kembali pada bekas / mantan isterinya dengan tidak perlu melakukan perkawinan (aqad) baru, asalkan isterinya dalam ‘iddah thalaq satu ataupun thalaq dua.
2. Thalaq Bain adalah thalaq yang tidak bisa dirujuki suami kembali kepada bekas / mantan isterinya, kecuali dengan ‘Akad nikah baru .
Ba’in Sughra ( kecil ) seperti thalaq tebus ( khuku’k ) dan menthalaq isterinya yang belum di campuri .
Ba’in Kubra ( besar ) yaitu thalaq tiga.
Pada thalaq ba’in kubra, bekas suami boleh menikah kembali kepada bekas / mantan isterinya setelah bekas / mantan isteri nikah dengan orang lain dan sudah bergaul layaknya suami isteri, kemudian di cerai, serta telah habis masa ‘iddahnya. Suami yang kedua itulah yang disebut Muhallil . Pelaksanaan Fashakh Nikah harus dilakukan dengan mengajukan tuntutan kepada Pengadilan Agama oleh suami / isteri dengan segera setelah mengetahui ada cacatnya.
Perceraian karena perselisihan berat, sehingga memerlukan campur tangan orang pihak ketiga, yaitu dua orang Hakim (pendamai) yang dipilih keluarga suami dan keluarga isteri. Yang berhak mengangkat Hakim ialah Hakim Syar’i.
Seterusnya suami dan isterinya menyerahkan kepada Hakimnya masing-masing untuk menyelesaikan pertikaiannya. Suami berwakil kepada Hakimnya boleh menthalaqkan isterinya atau menerima khuluq. Isteri berwakil kepada Hakimnya menerima thalaq atau mengajukan khuluq. Setelah Hakam dari kedua belah pihak gagal untuk mendamaikan kembali suami isteri tersebut.
Jika kedua Hakam berselisih sendiri hingga tidak dapat mengambil keputusan, maka Hakam Syar’i menyuruh suami dan isteri untuk mengganti Hakam masing-masing dengan yang lain.
Dalam hal Syiqaq ini Allah Swt berfirman dalam Al Quranul Karim pada surat An Nisa’ ayat 35 yang berbunyi :
Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Hakam ialah juru pendamai
‘Iddah adalah masa tenggang waktu untuk tidak boleh nikah / kawin bagi perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya.
‘Iddah ini dengan maksud untuk menentukan hamil atau tidanya perempuan itu sesudah ditinggal mati atau dithalaq suaminya.
Apabila isteri telah di thalaq suaminya, wanita itu tidak boleh dipinang atau dinikahkan, kecuali sesudah habis ‘iddahnya.
Masa ‘Iddah
1. Isteri yang sedang hamil, apabila dicerai atau suaminya meninggal, masa ‘iddahnya sampai bersalin/melahirkan, baik anak itu lahir hidup atau mati atau melahirkan sesuatu yang baru merupakan sepotong daging yang akan menjadi seorang anak. Firman Allah pada surat At Thalaq ayat 4 dan 6 :
2. Jika suaminya meninggal dunia sedang isterinya tidak hamil, masa ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari.
3. Perempuan yang decerai oleh suaminya, kalau mempunyai haid ‘iddahnya tiga kali suci (sekurang- kurangnya 90 hari). Untuk menghitung tiga kali suci ialah kalau waktu cerai dalam keadaan suci dan selama suci tidak dicampuri oleh suaminya, maka suci sewaktu perceraian itu terhitung satu kali suci. Tapi kalau dalam suci waktu perceraian telah dicampuri suaminya, maka suci yang pertama dihitung dari sejak sucinya sesudah haid yang pertama sesudah perceraian.
4. Bila perempuan yang dicerai mandul atau sudah lanjut usianya dan tidak pernah Haidl lagi, sehingga tidak mungkin diharapkan akan bisa hamil, Iddahnya tiga bulan.
5. Isteri yang dicerai suaminya sebelum dicampuri ( Qabla dukhul ) tidak ada Iddahnya atau tidak perlu beriddah. Firman Allah pada surat Al Ahzab ayat 49 :
Perempuan dalam ‘Iddah
1. Perempuan yang ta’at dalam Iddah Raj’iyyah berhak menerima dari bekas suaminya, tempat tinggal, pakaian dan segala belanja, kecuali isteri durhaka yang tidak ta’at kepada bekas suaminya.
Firman yang artinya “ Tempatkanlah mereka ( para isteri ) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu ‘ . ( Q. S. Ath-Thalaq ayat 6 ). Selain itu Allah juga berfirman yang artinya “ Dan jika mereka ( isteri-isteri yang sudah di thalak ) itu perempuan-perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka bersalin “.( Q. S. AthThalaq ayat 6 ).
2. Perempuan yang dalam Iddahnya yang tidak dapat Rujuk, kalau ia mengandung, berhak menerima tempat tinggal, nafkah dan pakaian, selama masa Iddahnya. Kalau ia tidak mengandung, hanya berhak menerima makanan dan pakaian .
3. Yang dalam Iddah wafat mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun ia mengandung, karena ia dan anak dalam kendungannya telah mendapat hak pusaka dari suaminya. Sabda Nabi Saw “ Isteri yang mengandung ( hamil ) yang cerai karena mati suaminya, tidak mendapatkan Nafkah “. ( H.R. Ad- Daruqudthni ).
Ruju’ adalah suami kembali kepada isterinya yang telah dicerai ( bukan Thalaq Ba’in ), yang masih dalam masa Iddah kepada nikah asal yang sebelumnya diceraikan dalam waktu tertentu.
1. Rukun Ruju’ :
a. Suami yang meruju’
b. Isteri yang diruju’
c. Ucapan yang menyatakan ruju’
d. Saksi.
Dalam hal Ruju' ini Firman Allah dalam surat Ath-Thalaq ayat 2 berbunyi:
Artinya : Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.
Sabda rasul Saw “ Dari ‘Imarah Bin Hushain ra, bahwasanya ia ditanya tentang seorang lelaki yang menthalak isterinya kemudian meruju’nya dengan tidak memakai saksi, maka ia berkata : Saksikanlah atas thalaqnya dan Saksikan pula pada Ruju’nya “. ( H.R. Abu Daud; mauquf dan sanadnya shahih ).
2. Syarat Ruju’ :
a. Suami yang meruju’ dengan kehendak sendiri, tidak dengan paksaan.
b. Isteri yang diruju’ dalam keadaan Talak Raj’i yang masih dalam keadaan ‘Iddah dan isteri itu telah pernah dicampuri sebelum cerai dahulu.
Sabda Rasul Saw yang artinya ; Dari ‘Umar ra, bahwasanya ketika ia menceraikan isterinya, Nabi Saw. Bersabda kepada ‘Umar : “ Perintahkanlah agar ia meruju’ isterinya “. ( H.R. Bukhari dan Muslim ).
3. Ucapan Ruju’ ( Shighat ):
a. Ucapan yang Sharih, adalah ucapan yang tegas maksudnya untuk ruju’.
Contoh “Aku kembalikan engkau kepada nikahku “.
Atau “Aku ruju’ engkau “. Atau “ Aku terima kembali engkau “.
b. Ucapan Kinayah, adalah ucapan yang tidak tegas maksudnya untuk ruju’. Contoh “ Aku nikahi engkau “. Atau “ Aku pegang engkau “.
Ruju’ dengan ucapan kinayah memerlukan niat.
Apabila tidak berniat ruju’ maka tidak sah ruju’nya.
4. Ruju’ dengan surat. Ruju’ dengan surat ditulis oleh suami dengan tidak diucapkannya termasuk ruju’ dengan kinayah. Artinya harus ada niat dari suami saat menulis surat itu untuk ruju’.
5. Ruju’ tidak setahu isteri. Suami yang telah mengucapkan ucapan ruju’ sah rujuknya, walaupun isteri tidak menyetujuinya.
Rujuk seperti ini sah walaupun dilakukan tidak dihadapan isteri atau tidak dengan setahu pihak isteri.
6. Syarat shighat.
Disyaratkan ucapan ruju’ tidak berta’liq, tidak digantungkan.
Contoh “ Aku ruju’ engkau jika engkau mau “. ruju’ seperti ini tidak sah walau isterinya rela / mau.
Ruju’ yang berbatas waktu juga tidak sah,
Contoh “ Aku ruju’ engkau sebulan".
Akibat pernikahan yang dilakukan antara seorang laki-laki dan wanita ( suami isteri ) akan menimbulkan hak dan kewajiban antara mereka tentang nafkah.
Nafkah merupakan kewajiban bagi suami pada isterinya; artinya isteri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya ( zahir bathin ).
Selanjutnya isteri juga mempunyai kewajiban melayani suaminya untuk kelangsungan hidup berumah tangga.
Istri wajib bersedia mengikuti suami kemana saja asalkan itu baik.
Suami isteri harus mampu melakukan pergaulan hidup dan hubungan bathin ( seksuil ).
Rasulullah Saw bersabda yang Artinya “ Dari Hakim Bin Mu’awiyah Al Qusyairi dari ayahnya ra, berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah Saw (tentang ), Apakah hak salah seorang kami terhadap ister ?. Beliau bersabda : “ Kau beri makan kepadanya jika engkau makan dan engkau beri pakaian kepadanya jika engkau perpakaian “.
1. Menggugurkan Nafkah.
Kewajiban memberi nafkah dari suami pada isterinya menjadi gugur, bila isteri durhaka atau menghilang tanpa izin dari suaminya.
Rasulullah Saw bersabda : “ Dari Abdullh Bin ‘Umar ra, ia berkata : Sabda Rasulullah Saw “ Cukuplah dosa seseorang, apabila ia melepaskan ( tidak memperdulikan ) orang yang harus mendapat makan dari padanya “. ( H.R. Nasa’i dan menurut lafaz Muslim ( beliau bersabda ): “ Menahan dari orang yang harus memperoleh makan dari padanya “.
2. Nafkah karena kerabat.
Memberi nafkah pada karib kerabat bagi seseorang juga merupakan kewajiban, biala mereka cukup mampu dan karib kerabatnya itu benar-benar memerlukan pertolongan karena fakir maupun miskin dan lainnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat Al Isra’ ayat 26 :
Artinya : Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghamburhamburkan (hartamu) secara boros. ( Q.S. Al Isra’ ayat 26 ).
3. Pemeliharaan ( Hadhanah ).
Pemeliharaan / Hadhanah adalah memelihara anak dan mendidiknya dengan baik.
Dalam pemeliharaan ada beberapa tahap :
a. Jika anak tersebut masik kecil. Dalam hal ini ibunyalah yang paling berhak memeliharanya jika masih belum baligh / mumayyiz. Hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 156.
b. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkan Hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh : 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu ; 2. Ayah ; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari Ayah ; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari Ayah.
c. Anak yang sudah Mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan Hadhanah dari Ayah atau Ibunya.
#. Apabila pemegang Hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah keopada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri ( 21 tahun ).
e. Anak yang sudah bekerja.
Pemeliharaan anak yang sudah bekerja diserahkan kepada siapa anak tersebut, apakah ia mau ikut dengan Ayahnya atau Ibunya.
Rasul Saw bersabda yang Artinya : “ Dari Abi Hurairah ra, Bahwasanya seorang wanita berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya suamiku hendak pergi bersama anakku, sedang ia ( anak itu ) sangan berguna sekali bagiku, ia bisa mengambilkan air untukku dari sumur Abi ‘Inabah ; maka datanglah suaminya ; lalu Nabi bersabda : Hai Nak, ini ayahmu dan ini ibumu, maka ambillah tangannya yang mana engkau mau, Lalu anak itu mengambil tangan ibunya lau pergi bersamanya “. ( H.R. Ahmad dan Imam yang empat dan disahkan oleh Tirmizi ).
Ihdad adalah masa berkabung karena kematian, yaitu menunjukkan tanda berduka cita dengan meninggalkan menghiasi diri.
Hukum Ihdad:
1. Isteri yang kematian suami wajib melakukan ihdad selama masa Iddah, yaitu 4 ( empat ) bulan sepuluh hari dan jika ia mengandung sampai melahirkan kandungannya . Firman Allah Swt pada surat Al Baqarah ayat 234 yang berbunyi :
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggal kan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
2. Perempuan yang kematian keluarganya; contoh : kematian Ayah, Ibu, Anak atau kematian orang lain, boleh melakukan ihdad selama 3 ( tiga ) hari. Melakukan ihdad lebih dari 3 ( tiga ) hari hukumnya haram.
3. Ihdad itu hanya boleh dilakukan oleh wanita, laki-laki haram melakukan Ihdad.
Cara Ihdad
Ihdad dilakukan dalam tiga macam yaitu :
1. Ihdad pada pakaian adalah tidak memakai kain yang bercelup dengan warna yang dimaksudkan jadi perhiasan.
2. Ihdad pada perhiasan adalah tidak memakai perhiasan emas, perak dan yang dicelup dari salah satu keduanya. Tidak memakai mutiara, intan dan segala macam permata pada siang hari. Tidak memakai minyak rambut, celak, hinai pada tangan dan kaki juga sesuatu yang menaikkan seri muka atau penghitam rambut.
3. Ihdad pada wangi-wangian adalah tidak memakai wangi-wangian pada badan, pakaian, makanan dan minuman.
TERIMA KASIH.
HTML Builder